Diri sejati manusia, sebuah perenungan

Ilmu sejati menerangkan bahwa manusia benar-benar abadi tidak bisa mati, kebal segala macam bahaya apapun dan bahagia tidak pernah duka, kaya tidak pernah miskin. Ilmu sejati adalah ilmu mengenali diri sejati. Inilah kunci ilmu kesaktian yang sesungguhnya. Falsafah hidup yang ideal tidak hanya menjadi pedoman hidup di dunia fisik ini saja, melainkan harus masuk ke kehidupan yang sejati yang metafisik. Bila diminta untuk memilih diantara dua hal, dunia fisik atau metafisik, maka jatuhkan pilihan pada yang terakhir saja (dunia metafisik). Sebab dunia fisik sudah pasti akan lenyap seiring dengan dimasukkannya jasad fisik kita ke dalam liang kubur, sementara dunia metafisik kita akan langgeng abadi sepanjang masa.

Diri Sejati

Tujuan hidup manusia adalah mengisi hidup di dunia ini dengan "diri yang sejati". Dunia adalah "persinggahan sementara diri sejati" sebelum menempuh perjalanan-perjalanan lain yang lebih tinggi dan sangat panjang. Sayangnya, di persinggahannya yang sementara ini kebanyakan justeru diisi oleh "diri-diri palsu". Maka, ketika hidup di dunia yang penuh dengan "diri-diri palsu" ini haruslah senantiasa bersiap diri untuk terseok dan tersungkur jatuh kapan saja serta tanpa membedakan pangkat, jabatan, ras, agama atau hal-hal apapun.


Contoh lain, dalam mengambil keputusan- keputusan, saat kita dihadapkan pada pilihan, memilih isteri yang cantik atau memilih isteri yang moralnya baik, maka kita langsung (secara otomatis) akan menjatuhkan pilihan pada isteri cantik. Saat kita dihadapkan pada pilihan mengambil uang negara (korupsi) sehingga cepat kaya atau hidup miskin namun tenang, kita akan dengan sadar langsung menjatuhkan pilihan untuk jadi koruptor, meskipun saat itu kita paham betul, bahwa resiko jadi koruptor adalah masuk penjara. Namun kesadaran kita itu hanya mucul dari lapisan jiwa terluar saja. Belum muncul dari lapisan jiwa yang terdalam dimana "Diri Sejati" kita berada. 


Keputusan yang muncul akibat tidak mendengarkan suara diri sejati yang tergencet oleh akal sehat dan nafsu ego, adalah "penyesalan". Kenapa menyesal? Sebab akibatnya adalah fatal. Seluruh wujud diri kita akan mengalami akibat fisik yang mengerikan.


Akibat fatal ini bagi setiap orang berbeda-beda tergantung pada peristiwa apa yang dialami oleh diri palsu itu mendominasi kita. Pada suatu ketika, kita dihadapkan pada pilihan menyalip atau tidak ketika ada truk gandeng melaju perlahan sehingga menghalangi laju kendaraan kita. Pikiran bawah sadar kita mengatakan "jangan", karena berbahaya menyalip. Apalagi jalur kendaraan hanya ada dua. Namun, nafsu ego (pikiran sadar) mengatakan teruskan menyalip agar cepat sampai tujuan. Pilihan akhirnya dijatuhkan dengan cepat oleh gerakan refleks pikiran sadar, …. brakkkkk…., kendaraan kita dihantam kendaraan lain dari jalur yang berlawanan.


Menuruti diri palsu, ego (pikiran sadar) kadang dapat juga memuaskan (untuk sementara waktu), namun kepuasan itu sifatnya hanya sementara. Akan lahir dan berkembang keinginan demi keinginan lainnya yang juga harus dipuaskan. Itulah watak diri palsu : senang sesaat, tidak pernah puas … Memuaskan keinginan nafsu ego, maka perkembangan spiritual dan mental berada pada posisi stagnan (diam), mandeg. Bahkan mengalami kemunduran. 


Hal ini akan berbeda ketika kita banyak menuruti DIRI SEJATI. Diri yang sejati akan membuat perkembangan spiritual kita bergerak aktif dan dinamis, menuju pencapaian kesadaran yang lebih tinggi. Bila ulat mampu bermetamorfisis menjadi kupu-kupu yang indah, maka diri sejati akan bermetamorfosis menjadi diri sejati yang "moksa".


Diri yang manunggal dengan iradat-Nya. Duh, alangkah indahnya manusia yang sampai pada tahap ini? …. Kita perlu sadar bahwa di dalam pikiran kita terkadang terdapat pilihan alternatif yang tidak banyak. Mungkin hanya ada dua, tiga atau lima. Mungkin pula  hanya ada satu bahkan tidak ada alternatif sama sekali. Perlu dipahami, bahwa sesungguhnya ada tidaknya alternatif itu tergantung pada sumber mana yang kita akses, "diri palsu ego" atau "diri sejati" ? Pada diri palsu ego, alternatifnya hanya sekedar apa yang teralami dengan indera saja. Kenikmatan, kesuksesan, kejayaan jasad/fisik adalah hukum alam dari hasil akhir proses menuruti diri palsu. Belajar dari sejarah kepemimpinan, tidak ada satupun pemimpin sebuah komunitas bangsa yang lahir dari diri palsu akan mampu bertahan abadi melintasi jaman. Kejayaan dan kelanggengan nilai-nilai yang ditebar pemimpin bobrok akan membawa kehancuran dan degradasi nilai-nilai kemanusiaan.


Mencapai tataran makrifat yang merupakan wujud diri sejati inilah yang harusnya menjadi tujuan hidup kita. Salah satu ajaran mistik Djawa yang membabar soal menjadi diri sejati terkandung dalam Serat Dewaruci. Serat Dewaruci merupakan karya sastra suluk yang secara keseluruhan bernilai mistis. Nilai-nilai yang termuat dalam alur cerita Sang Bima mencari diri sejati disimbolkan dengan pencarian “Air Perwitasari” oleh Bima, yaitu air yang membuat abadi bagi peminumnya. Serat ini menceriterakan upaya bagaimana manusia dalam kehidupannya dapat mencapai diri sejati, yaitu diri yang mampu menciptakan keasrian, ketentraman dan kelestarian dunia. Salah satu moralitas ajarannya yaitu "memayu hayuning bawana dan memayu hayuningrat". Suradira jayaningrat lebur dening pangastuti : sifat pengasih akan meleburkan segala kejahatan. Serat Dewa Ruci membeberkan konsep ngelmu “ MANUNGGALING KAWULA GUSTI, PAMORING KAWULA GUSTI, JUMBUHING KAWULA GUSTI, WARANGKA MANJING CURIGA CURIGA MANJING WARANGKA ”, yaitu diri sejati yang tidak lagi mengalami suka duka. Ia akan berseri bagaikan bulan purnama menyinari bumi, membuat dunia menjadi indah.


Di dunia, ia menjadi wakil Tuhan (wakiling Gusti), menjalankan kewajiban-kewajiban-Nya dan memberi inspirasi kepada manusia yang lain. Ia mampu mendengar, merasa, dan melihat apa yang tidak dapat dikerjakan oleh manusia yang masih diselubungi oleh kebendaan, syahwat, dan segala kesibukan dunia yang fana. Tindakan diri manusia semata-mata menjadi laku karena Bima telah mencapai tahap makrifat, di antaranya ia merasakan : keadaan dirinya dengan Tuhannya bagaikan air dengan ombak, nikmat dan bermanfaat, segala yang dimaksud olehnya tercapai, hidup dan mati tidak ada bedanya, serta berseri bagaikan sinar bulan purnama menyinari bumi.


Wujud diri sejati meliputi segala yang ada di dunia ini, yang hidup tidak ada yang menghidupi, yang tidak terikat oleh waktu, yaitu "yang ada" telah berada pada diri Bima, telah menunggal menjadi satu. Jika telah manunggal penglihatan dan pendengaran Bima menjadi penglihatan dan pendengaran-Nya. Badan lahir dan badan batin Suksma telah ada pada Bima, hamba dengan Tuhan bagaikan api dengan asapnya, bagaikan air dengan ombak, bagaikan minyak di atas air susu. Setelah manunggal dengan Gusti, dia tidak merasakan rasa khawatir, tidak berniat makan dan tidur, tidak merasakan lapar dan mengantuk, tidak merasakan kesulitan, hanya nikmat yang memberi berkah karena segala yang dimaksud dapat tercapai. Hal ini menyebabkan Bima ingin manunggal terus. Ia telah memperoleh kebahagiaan nikmat rahmat yang terkandung pada kejadian dunia dan akhirat. Sinar Ilahi yang melahirkan kenikmatan jasmani dan kebahagian rohani telah ada pada Bima. Itulah "surga". Pada tahap ini, apa yang diniatkan diri sejati akan terwujud.


Bahkan, hukum alam taklum dalam hukum Ilahi. Keajaiban itu terjadi sewaktu hamba dalam kendali Ilahi. Hidup dan mati tidak ada bedanya, karena dalam hidup di dunia hendaklah manusia dapat mengendalikan hawa nafsu yang tidak baik, sehingga pada saat kematian manusia akan kembali menjadi satu dengan Tuhannya. Mati merupakan perpindahan rohani dari sangkar kecil menuju kepada kebebasan yang luas, kembali kepada-Nya. Dalam kematian raga, nafsu yang tidak sempurna dan yang menutupi kesempurnaan akan rusak. Yang tinggal hanyalah "Suksma". Ia kemudian bebas merdeka sesuai kehendaknya, kembali manunggal kepada Yang Kekal. Setelah mengetahui, menghayati, dan mengalami manunggal sempurna antara diri sejati dengan Pencipta-nya. Karena mendapatkan wejangan Dewaruci, hatinya terang seperti kuncup bunga yang mekar. Dewaruci kemudian muksa. Bima kembali kepada alam dunia nyata yang semula. Sebab, bagaimana pun kita masih manusia yang punya jasad/ tubuh. Nafsu jasad/kebutuhan biologis tidak dihilangkan, namun dikendalikan dengan sebaik- baiknya, untuk dituntun menuju atribut "diri sejati".

Diri sejati manusia, sebuah perenungan
Item Reviewed: Diri sejati manusia, sebuah perenungan 9 out of 10 based on 10 ratings. 9 user reviews.
Emoticon? nyengir

Silahkan meninggalkan komentar dengan bahasa yang relevan dan sopan.. # Don't Spamm ! #

Komentar Terbaru

Just load it!